Silsilah Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
tidak bisa diungkapkan secara jelas dan runtut, terutama silsilahnya ke atas,
karena catatan dan dokumen silsilah keluarga beliau ikut hangus terbakar ketika
rumahnya mengalami musibah kebakaran. Namun, menurut sejumlah kalangan bahwa
asal usulnya dari keturunan orang-orang terpandang, yakni dan keturunan
sultan-sultan Selaparang, sebuah kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Pulau
Lombok. Disebutkan bahwa Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
merupakan keturunan Kerajaan Selaparang yang ke-17.
Pendapat ini tentu saja paralel dengan analisa yang diajukan
oleh seorang antropolog berkebangsaan Swedia bernama Sven Cederroth, yang
merujuk pada kegiatan ziarah yang dilakukan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid ke makam Selaparang pada tahun 1971, sebelum
berlangsungnya kegiatan pemilihan umum (Pemilu). Praktek ziarah semacam ini
memang bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk
masyarakat Sasak, untuk mengidentifikasikan diri dengan leluhurnya. Disamping
itu pula, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tidak pernah
secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap anggapan dan
pernyataan-pernyataan yang selama ini beredar tentang silsilah ketununannya,
yakni kaitan genetiknya dengan sultan-sultan Kerajaan Selaparang.
Keluarga
Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah
anak bungsu dari enam bersaudara. Kakak kandung beliau lima orang, yakni Siti
Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Saudah, Haji Muhammad Sabur dan Hajjah Masyitah.
Ayahandanya TGH. Abdul Madjid yang terkenal dengan penggilan
"Guru Mu'minah" adalah seorang muballigh dan terkenal pemberani.
Beliau pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah, sedangkan ibundanya
Hajjah Halimah al-Sa'diyah terkenal sangat salehah.
Sejak kecil al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid terkenal sangat jujur dan cerdas. Karena itu tidaklah
mengherankan bila ayah-bundanya memberikan perhatian istimewa dan menumpahkan
kasih sayang begitu besar kepada beliau. Ketika melawat ke Tanah Suci Mekah
untuk melanjutkan studi, ayah-bundanya ikut mengantar ke Tanah Suci.
Ayahandanya-lah yang mencarikan guru tempat beliau belajar pertama kali di
Masjid Haram dan sempat menemani beliau di Tanah Suci sampai dua kali musim
haji. Sedangkan ibundanya Hajjah Halimatus Sa'diyah ikut bermukim di Tanah Suci
mendampingi dan mengasuh beliau sampai ibundanya tercintanya itu berpulang ke
rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Mu'alla Mekah.
Dengan demikian, tampak jelaslah betapa besar perhatian
ayah-bundanya terhadap pendidikan beliau. Hal ini juga tercermin dari sikap
ibundanya bahwa setiap kali beliau berangkat untuk menuntut ilmu, ibundanya
selalu mendoakan dengan ucapan "Mudah mudahan engkau mendapat ilmu yang
barakah" sambil berjabat tangan serta terus memperhatikan kepergian beliau
sampai tidak terlihat lagi oleh pandangan mata. Pernah suatu ketika, beliau
lupa pamit pada ibundanya. Beliau sudah jauh berjalan sampai ke pintu gerbang
baru sang ibu melihatnya dan kemudian memanggil beliau untuk kembali, Gep, gep,
gep (nama panggilan masa kecil beliau), koq lupa bersalaman?, ucap ibunda
beliau dengan suara yang cukup keras. Akhirnya, beliau pun kembali menemui
ibundanya sembari meminta maaf dan bersalaman. Lalu sang ibu mendoakan beliau.
Mudah-mudahan anakku mendapatkan ilmu yang barokah. Setelah itu beliau kemudian
berangkat ke sekolah. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa betapa besar
kesadaran ibundanya akan penting dan mustajabnya doa ibu untuk sang anak
sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah SAW, bahwa doa ibu menduduki
rangking kedua setelah doa Rasul.