Pengembaraan TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menuntut
ilmu pengetahuan berawal dari pendidikan dalam keluarga, yakni dengan belajar
mengaji [membaca Al-qur'an] dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan
langsung oleh ayahnya, yang dimulai sejak berusia 5 tahun.
Pendidikan
Lokal
Setelah berusia 9 tahun, ia memasuki pendidikan formal yang
disebut Sekolah Rakyat Negara, hingga tahun 1919 M. Setelah menamatkan
pendidikan formalnya, beliau kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk menuntut
ilmu agama yang lebih luas dari beberapa Tuan Guru lokal, antara lain TGH.
Syarafudin dan TGH. Muhammad Sa'id dari Pancor serta Tuan Guru Abdullah bin
Amaq Dulaji dari desa Kelayu, Lombok Timur. Ketiga guru agama ini mengajarkan
ilmu agama dengan sistem halaqah, yaitu para santri duduk bersila di atas tikar
dan mendengarkan guru membaca kitab yang sedang dipelajari, kemudian
masing-masing murid secara bergantian membaca.
Pendidikan
di Mekah
Untuk lebih memperdalam ilmu agama, Muhammad Zainuddin
remaja berangkat menuntut ilmu ke Mekah diantar kedua orang tuanya, tiga orang,
kemenakan dan beberapa orang keluarga, termasuk pula TGH. Syarafuddin. Pada
saat itu beliau berusia 15 tahun, yaitu menjelang musim Haji tahun 1341 H/1923
M. Sesampai di Tanah Suci, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid langsung
mencari rumah kontrakan di Suqullail, Mekah.
Belajar
di Masjid al-Haram
Beberapa setelah musim Haji usai, TGH. Abd. Madjid mulai
sibuk mencarikan guru buat anaknya. Sampailah pencarian TGH. Abd. Madjid pada
sebuah halaqah. Syaikh yang mengajar di lingkaran tersebut bernama Syaikh
Marzuki, seorang keturunan Arab kelahiran Palembang yang sudah lama mengajar
mengaji di Masjid Haram, yang saat itu berusia sekitar 50 tahun. Disanalah
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid diserahkan untuk belajar.
Selain itu juga sempat belajar ilmu sastra pada ahli syair
terkenal di Mekah, yakni Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi dan pada saat itu
berkenalan dengan Sayyid Muhsin Al-Palembani, seorang keturunan Arab kelahiran
Palembang yang kemudian menjadi guru beliau di Madrasah al-Shaulatiyah.
Ketika ayah TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pulang ke
Lombok, ia langsung berhenti belajar mengaji pada Syaikh Marzuki, karena ia
merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut ilmu
selama ini. Namun, ia belum sempat mencari guru, terjadi perang saudara antara
kekuasaan Syarif Husein dengan golongan Wahabi
Belajar
di Madrasah al-Shaulatiyah
Dua tahun setelah terjadinya huru hara tersebut, Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid muda berkenalan dengan seseorang yang bernama Haji
Mawardi dari Jakarta. Dari perkenalannya itu ia diajak masuk belajar di
madrasah al-Shaulatiyah, yang saat itu dipimpin oleh Syaikh Salim Rahmatullah.
Pada hari pertama masuknya ia bertemu dengan Syaikh Hasan Muhammad
al-Masysyath.
Madrasah al-Shaulatiyah adalah madrasah pertama sebagai
permulaan sejarah baru dalam pendidikan di Arab Saudi. Madrasah ini sangat
legendaris, gaungnya telah menggema di seluruh dunia dan telah menghasilkan
banyak ulama-ulama besar dunia. TGKH. Muhammad Zainuddin masuk Madrasah
al-Shaulatiyah pada tahun 1345 H (1927 M) yang waktu dipimpin (Mudir/Direktur),
Syaikh Salim Rahmatullah yang merupakan cucu pendiri Madrasah al-Shaulatiyah.
Sudah menjadi tradisi bahwa setiap thullab yang masuk di Madrasah
Al-Shaulatiyah harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang cocok bagi
thullab. Demikian pula dengan TGKH. Muhammad Zainuddin, juga ditest terlebih dahulu.
Secara kebetulan diuji langsung oleh Direktur al-Shaulatiyah sendiri, Syaikh
Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath.
Hasil test menentukan di kelas 3. mendengar keputusan itu,
TGKH. Muhammad Zainuddin minta diperkenankan masuk kelas 2 dengan alasan ingin
mendalam mata pelajaran ilmu Nahwu dan Sharaf. Semula Syaikh Hasan bersikeras
agar TGKH. Muhammad Zainuddin masuk kelas 3, tetapi pada akhirnya melunak dan
mengabulkan permohonan untuk masuk kelas 2 dan sejak itu TGKH. Muhammad Zainuddin
secara resmi masuk Madrasah al-Shaulatiyah mulai dari kelas 2. Prestasi
akademiknya sangat istimewa. Beliau berhasil meraih peringkat pertama dan juara
umum. Dengan kecerdasan yang luar biasa, TGKH. Muhammad Zainuddin berhasil
menyelesaikan studi dalam waktu hanya 6 tahun, padahal normalnya adalah 9
tahun. Dari kelas 2, diloncatkan ke kelas 4, kemudian loncat kelas lagi dari
kelas 4 ke kelas 6, kemudian pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8 dan 9.
Sahabat sekelas TGKH. Muhammad Zainuddin bernama Syaikh
Zakaria Abdullah Bila, mengakui kejeniusannya dan mengatakan: Syaikh Zainuddin
itu adalah manusia ajaib di kelasku, karena kejeniusannya yang tinggi dan luar
biasa dan saya sungguh menyadari hal ini. Syaikh Zainuddin adalah saudaraku,
dan kawan sekelasku dan saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak
pernah menang dalam berprestasi pada waktu saya bersama-sama dalam satu kelas
di Madrasah Al-Shaulatiyah Mekah.
Predikat istimewa ini disertai pula dengan perlakuan
istimewa dari Madrasah Al-Shaulatiyah. Ijazahnya ditulis langsung oleh ahli
khat terkenal di Mekah, yaitu Al-Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul
dari direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Prestasi istimewa itu memerlukan
pengorbanan, ibunda yang selalu mendampingi selama belajar di Madrasah
al-Shaulatiyah berpulang ke rahmatullah di Mekah. Maulana al-Syaikh TGKH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyelesaikan studi di Madrasah al-Shaulatiyah
pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H dengan predikat "mumtaz" (Summa
Cumlaude).
Setelah tamat dari Madrasah al-Shaulatiyah, tidak langsung
pulang ke Lombok, tetapi bermukim lagi di Mekah selama dua tahun sambil
menunggu adiknya yang masih belajar, yaitu Haji Muhammad Faisal. Waktu dua
tahun itu dimanfaatkan untuk belajar antara lain belajar ilmu fiqh kepada
Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani. Dengan demikian, waktu belajar yang
ditempuh selama di Tanah Suci Mekah adalah 13 kali musim haji atau kurang lebih
12 tahun. Ini berarti selama di Mekah sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak
13 kali.
Setelah selesai menuntut ilmu di Mekah dan kembali ke tanah
air, TGKH. Muhammad Zainuddin langsung melakukan safari dakwah ke berbagai
lokasi di pulau Lombok, sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada
waktu itu masyarakat menyebutnya 'Tuan Guru Bajang'. Semula, pada tahun 1934
mendirikan pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak
mempelajari agama dan selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22
Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan
santri (murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941.